Ternate: Kota Rempah Warisan Dunia
“Rempah (cengkih) telah membawa pengaruh besar terhadap peta politik dunia, membuka jalur kolonialisme Eropa, tetapi juga memantik perlawanan dan melahirkan kesadaran kebangsaan. Sejarah rempah Kota Ternate bukan hanya nostalgia masa lalu, melainkan pelajaran tentang relasi kuasa, ekonomi global, dan harga sebuah kedaulatan.”
(Catatan, 15 April 2025)
Usai Pemerintah Kota Ternate, pada periode awal kepemimpinan Walikota Dr. Tauhid Soleman menabalkan “posisi” dan “identitas” sebagai Kota Rempah, serentak, pada semua organisasi perangkat daerah (OPD) mulai “merumuskan” dan menerjemahkan ikon identitas kota tersebut. Dalam perjalanannya, Kota Ternate kemudian terjebak pada pencitraan visual. Ternate sebagai kota rempah, berhenti pada slogan, tidak menghunjam kuat dalam kebijakan dan pengalaman sosiologis masyarakat Kota Ternate tentang rempah sebagai identitasnya. Rempah hanyalah diksi yang terbenam dalam hiruk pikuk Kota Ternate yang disibukkan dengan perebutan pertumbuhan ekonomi, atau seremoni pembangunan perkotaan yang kian kompleks dan rumit.
Ternate merupakan kota kecil di Provinsi Maluku Utara yang memiliki sejarah besar dalam percaturan perdagangan global sejak Abad Pertengahan. Kota ini menjadi salah satu pusat penghasil rempah-rempah utama dunia, khususnya cengkih. Kala itu, Ternate telah memainkan peran penting dalam membentuk relasi politik, ekonomi, dan kebudayaan dunia. Dengan klaim itulah, sejarah Ternate tak bisa dilepaskan dari narasi panjang rempah-rempah. Cengkih yang tumbuh subur di kepulauan ini menjadi komoditas paling berharga di dunia pada Abad ke-15 hingga Abad 17. Penjelajah Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris datang dan saling berebut kendali atas kekayaan rempah di Ternate dan wilayah sekitarnya.
Kota ini bukan sekadar pusat produksi, tetapi juga simbol dari pertemuan dan pertautan pelbagai kekuatan kolonial, jaringan perdagangan internasional, dan warisan budaya yang hidup hingga hari ini.
Menurut sejarawan Leonard Andaya, Ternate dan Tidore merupakan kerajaan Islam yang memainkan peran penting dalam perdagangan internasional sejak abad ke-15 (Andaya, 1993: 74).
Di sinilah, Ternate bukan hanya objek kolonialisasi, tetapi juga aktor aktif dalam menjalin diplomasi dan aliansi strategis. Kehadiran bangsa Portugis pada tahun 1512 yang menandai awal kolonialisme Eropa di wilayah ini, di mana kemudian mereka membangun benteng São João Baptista di Ternate dan menjalin hubungan dengan Kesultanan Ternate.
Namun, hubungan ini tak selalu harmonis. Konflik, pengkhianatan, dan perebutan kekuasaan menjadi bagian dari dinamika sejarah Ternate yang demikian heroik.
Hingga kini, Ternate menyimpan banyak jejak arsitektur kolonial dan budaya rempah yang masih hidup.
Benteng-benteng peninggalan Portugis, Spanyol, dan Belanda seperti Benteng Oranje, Tolukko, dan Kalamata menjadi saksi bisu masa lalu kota ini. Selain itu, istana Kesultanan Ternate dan manuskrip-manuskrip kuno menunjukkan tingginya peradaban lokal yang tumbuh berdampingan dengan dunia rempah.
Dalam laporan UNESCO (2020), Ternate dimasukkan dalam inisiatif Spice Route sebagai kota yang memiliki potensi warisan dunia karena kontribusinya dalam jaringan maritim dan pertukaran budaya global yang dipicu oleh perdagangan rempah. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga telah menetapkan “Jalur Rempah” sebagai program strategis kebudayaan nasional. Di mana, Ternate menjadi salah satu simpul utama dari jalur ini.
Program ini bertujuan untuk merekonstruksi kembali narasi sejarah rempah Indonesia dan mendorong pengakuan warisan dunia oleh UNESCO. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2021), Ternate bukan hanya penyumbang utama cengkih, tetapi juga kota pelabuhan yang menghubungkan perdagangan Asia, Timur Tengah, dan Eropa.
Warisan budaya takbenda seperti ritual panen cengkeh dan kuliner berbasis rempah menjadi bagian dari kekayaan yang diajukan untuk pengakuan UNESCO.
Ternate merupakan kota kecil dengan jejak sejarah besar. Sebagai kota rempah, Ternate telah menjadi episentrum pertemuan peradaban dan medan konflik kekuasaan global. Hari ini, warisan sejarah dan budaya rempah masih hidup dalam bentuk arsitektur, tradisi, dan ingatan kolektif masyarakatnya.
Upaya menjadikan Ternate sebagai warisan dunia bukan hanya soal pelestarian masa lalu, tetapi juga pengakuan atas peran penting kota ini dalam membentuk sejarah global.
Rempah-rempah tidak hanya membentuk sejarah ekonomi Ternate, tetapi juga identitas budaya masyarakatnya. Upacara adat, sistem sosial, dan diplomasi lokal banyak yang terkait dengan tradisi maritim dan perdagangan.
Hingga hari ini, cengkih tetap menjadi simbol warisan kejayaan dan perlawanan Ternate. Pertanyaannya : “mengapa sejarah rempah yang panjang dan menjadi memori kolektif masyarakat Kota Ternate, tidak didorong dengan sungguh-sungguh dalam dokumen kebijakan resmi menjadi sebuah pengakuan (recognition) warisan (legacy) yang hingga kini masih hidup dalam pengalaman masyarakatnya?[]
Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
Tinggalkan Balasan