Ternate Kota Rempah: Harum untuk Dunia, Keruh untuk Sendiri
Ternate sedang berupaya melangkah dengan kepala tegak di panggung dunia. Kota ini menawarkan kembali narasi kejayaannya sebagai Kota Rempah Warisan Dunia—pusat sejarah, kebudayaan, dan daya tarik maritim yang telah menginspirasi pelayaran lintas samudra selama berabad-abad.
Di dalam narasi ini, rempah bukan sekadar komoditas. Lebih jauh dari itu, menjadi lambang keharuman, simbol peradaban, dan daya tarik global. Tapi apakah wangi yang kita gaungkan ke dunia hari ini sungguh mewakili kenyataan yang kita hidupi sehari-hari?
Di balik mural rempah dan festival yang meriah, ada persoalan sunyi yang belum selesai. Kota ini sedang menyimpan krisis lingkungan dan sanitasi yang tak kasat mata. Laut perlahan keruh, tanah mulai terkontaminasi, dan air yang kita gunakan tiap hari menyimpan bahaya yang diam.
Barangka, Sampah, dan Laut yang Letih
Setiap musim hujan datang, sungai-sungai kering atau kali mati “barangka” berubah menjadi saluran deras yang menyeret bukan hanya air, tapi juga sampah plastik, botol, kantong, dan kemasan makanan terbawa langsung ke laut. Di sinilah ironi itu terlihat jelas.
Laut yang seharusnya menjadi halaman depan Kota Rempah justru menjadi tempat pembuangan akhir dari kebiasaan yang tak bertanggung jawab! Laporan UNEP (United Nations Environment Programme, 2022), memperingatkan bahwa limbah plastik di laut tidak hanya mencemari pemandangan, tetapi juga mengancam rantai makanan laut, termasuk ikan dan kerang yang menjadi bagian dari konsumsi harian masyarakat.
Sayangnya, kota belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang memadai. Pada Forum Konsultasi Publik KLHS RPJPD Kota Ternate 2025-2045 tahun 2024 lalu, terungkat bahwa TPA yang tersedia hanya sekira 5 hektare—jauh dari kebutuhan ideal. Pengumpulan dan pengangkutan masih menjadi orientasi utama, belum sampai pada tahap pengolahan dan pengurangan yang sistematis.
Pemilahan sampah dari sumbernya pun belum menjadi kebiasaan. Saat narasi rempah kita bawa ke meja diplomasi internasional, sampah kita masih berserakan di sudut kota, terbawa angin dan hujan, lalu tenggelam di laut sendiri.
Isu Air Tanah dan Sanitasi yang Menolak Letih
Tak hanya laut yang memikul beban. Tanah di bawah kaki kita pun mulai menyimpan luka. Sebagian besar rumah tangga masih menggunakan tangki septik konvensional. Banyak yang dibangun tanpa kedap air, tanpa pengurasan berkala, dan nyaris tanpa pengawasan teknis.
Limbah domestik—air kotor, tinja—meresap ke dalam tanah, perlahan namun pasti. Dan ironisnya, sebagian warga diperkirakan masih menggunakan air tanah dari sumur yang berjarak sangat dekat dengan sumber pencemar itu.
World Bank (2022), dalam Wastewater: From Waste to Resource-The Economics of Wastewater Management in Southeast Asia, menyebut bahwa sistem sanitasi yang tidak standar adalah salah satu penyebab utama pencemaran air tanah di kawasan perkotaan Asia Tenggara.
Di kota-kota pulau seperti Ternate, dengan kondisi geologis yang kompleks dan lahan terbatas, risikonya bisa jadi meningkat dua kali lipat. Masalah ini bukan sekadar teknis. Ini menyangkut kesehatan masyarakat, keadilan lingkungan, dan hak dasar atas air bersih.
Lebih jauh, masih ada masyarakat yang belum memiliki akses ke sanitasi layak. Di beberapa kawasan padat, terutama rumah panggung di tepi pantai, ditenggarai praktik buang air besar sembarangan (BABS) masih terjadi. Pantai yang semestinya menjadi etalase Kota Rempah justru menerima beban dari sistem sanitasi yang tak tuntas. Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi juga soal martabat.
Laporan UNICEF & WHO “Progress on Household Drinking Water, Sanitation and Hygiene: 2023 Update”, menekankan bahwa keberadaan BABS berbanding lurus dengan tingkat kerentanan masyarakat terhadap penyakit berbasis air, serta rendahnya kualitas hidup. Ironisnya, sanitasi belum sepenuhnya menjadi prioritas dalam agenda pembangunan kota.
Masih dari Forum Konsultasi Publik KLHS RPJPD Kota Ternate 2025-2045 tahun 2024 lalu, juga terungkap bahwa kelembagaan pengelolaan air limbah belum optimal, cakupan pelayanan masih sempit, dan edukasi publik berlangsung sporadis. Semoga tidak berlebihan, kita sanggup menata wajah kota, tapi belum selesai membersihkan halaman belakang rumah sendiri.
Meneguhkan Narasi Harum Rempah yang Paripurna
Ternate Kota Rempah Warisan Dunia adalah cita-cita yang mulia. Tapi keharuman tidak hanya lahir dari panggung promosi atau jejak sejarah. Ia tumbuh dari tanah yang bersih, air yang sehat, laut yang hidup, dan sistem kota yang bertanggung jawab. Kota yang harum adalah kota yang tak hanya dipuji dari luar, tetapi dirasakan aman dan sehat oleh warganya sendiri.
Kita membutuhkan langkah-langkah strategis: edukasi tentang pemilahan sampah, penguatan regulasi septik tank kedap, pembangunan infrastruktur sanitasi, dan dukungan kelembagaan lintas sektor. Kita juga butuh partisipasi warga, karena kota tak bisa dibersihkan hanya oleh tangan pemerintah! Rempah bisa jadi jembatan diplomasi, tapi air tanah yang jernih adalah ukuran keberadaban.
Tentu saja, semua ini mungkin hanya imajinasi liar penulis. Sebuah harapan yang lahir dari kegelisahan melihat kota yang dicintai tumbuh harum di permukaan, tapi keruh di dalam. Mungkin terasa terlalu ideal, mungkin terasa berat.
Jika kita bisa bermimpi menjadikan Ternate sebagai Kota Rempah untuk dunia, maka tak berlebihan rasanya bila kita juga memimpikan Ternate yang bersih, sehat, dan ramah untuk warganya sendiri. Mungkin, dari imajinasi yang sederhana ini, akan lahir kesadaran yang lebih besar: bahwa harum tak akan abadi, jika tanah di bawahnya terus membusuk tanpa suara.
Pada akhirnya, kota ini adalah warisan—bukan hanya dari masa lalu, tapi untuk masa depan. Kita boleh mewarisi harum rempah dari leluhur, tapi jangan sampai kita mewariskan tanah yang tercemar, laut yang sakit, dan udara yang mengeluh. Jika Ternate ingin harum untuk dunia, maka ia harus bersih untuk anak-anaknya sendiri. Dari air tanah, sampah, dan sanitasi—mereka yang seringkali paling sunyi, paling sederhana, dan paling sering kita abaikan.***
Dr. Ir. Husnullah Pangeran
Ketua Pengurus Wilayah Persatuan Insinyur Indonesia Provinsi Maluku Utara
Tinggalkan Balasan