Ternate Kota Rempah (Remah dan Pahit)

Salah satu kolega “Bung Herman Oesman” dalam catatannya 15/04/2025 (okebaik.id) menulis “Ternate: Kota Rempah Warisan Dunia” kemudian mengajukan otokritik tanya “mengapa sejarah rempah yang panjang dan menjadi memori kolektif masyarakat Kota Ternate, tidak didorong dengan sungguh-sungguh dalam dokumen kebijakan resmi menjadi sebuah pengakuan (recognition) warisan (legacy) yang hingga kini masih hidup dalam pengalaman masyarakatnya?”

Ya! Ternate dikenal dunia bukan karena ukurannya yang kecil atau lokasinya yang terpencil. Kota ini tersohor karena harumnya rempah-rempah yang begitu berharga hingga memicu lahirnya jalur pelayaran global, perebutan kolonial, dan sejarah panjang perdagangan dunia. Tapi hari ini, ketika kita menyebut Ternate sebagai “Kota Rempah Warisan Dunia”, apa yang sebenarnya kita maksud? Apakah kita sungguh-sungguh membangunnya, atau hanya mengumandangkan gema sejarah yang kosong?

Judul besar “Kota Rempah”, yang oleh “Abah Ismit Alkatiri” sudah lama digaungkan, sayangnya mulai terdengar sebagai lelucon sinis, terutama ketika masyarakat di lapangan hanya melihat potret-potret kejayaan masa lalu tanpa dampak nyata dalam kehidupan hari ini. Aktivitas seremonial lebih sering muncul daripada kebersinambungan program. Festival budaya hadir secara sporadis, namun tidak diikuti dengan penguatan rantai pasok dan rantai nilai, pengembangan pasar, atau peningkatan kapasitas petani.

Kita terlalu rajin membuat acara, tapi malas menyusun sistem. Terlalu sering membuat tim kerja, tapi jarang menciptakan kerja nyata. Maka yang tersisa dari “rempah” hari ini hanyalah remah – rapuh, tercecer, tak utuh, dengan rasa yang muncul dari semua itu adalah pahit.

Antara Branding dan Realitas

Mari kita lihat realitasnya. Ternate mengklaim sebagai kota rempah, tetapi petani cengkih masih berjuang dengan harga pasar yang tak stabil. Pala sebagai komoditas unggulan justru semakin jarang dibudidayakan secara serius. Tidak ada insentif kuat untuk regenerasi petani muda. Daya saing industri hilir masih lemah, bahkan produk rempah lokal lebih banyak dijual dalam bentuk mentah daripada diolah secara bernilai tambah. Beberapa produk hilir telah di lempar ke sejumlah supermarket market besar. Tapi penulis sedikit bingung karena harganya yang relatif mahal dibandingkan produk serupa buatan luar Ternate. Di saat yang sama, kita sibuk bicara ekspor, branding internasional, dan promosi wisata berbasis sejarah.

Di sinilah letak ironi paling dalam. Ternate sedang membangun citra global tanpa membenahi rumahnya sendiri. Kota ini terjebak dalam bayang-bayang kejayaannya sendiri. Kita suka mendramatisasi masa lalu, tetapi gagal mengkonkretkan masa depan. Sejarah kita begitu megah, namun rencana kita begitu sempit!

Gagal Fokus, Gonta-Ganti Selera

Salah satu penyakit kronis pembangunan daerah adalah kegagalan fokus. Boleh dikata Ternate bukan pengecualian. RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) disusun sekadar menggugurkan kewajiban perundang-undangan, bukan sebagai dokumen hidup yang menjadi panduan pembangunan jangka menengah, untuk kemudian dijabarkan ke dalam RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah),  hingga penganggaran di APBD.

Program prioritas berganti seperti tren TikTok: tahun ini rempah, tahun depan pariwisata bahari, tahun berikutnya kota kreatif. Semuanya baik, tapi ketika tidak saling terhubung dalam sistem pembangunan yang utuh dan konsisten, semua itu berakhir sebagai proyek seremonial jangka pendek. Inilah kenapa meski anggaran digelontorkan, hasilnya tidak berbekas. Output ada, tapi outcome tidak terasa. Slogan berbunga-bunga, tapi realitas di lapangan tetap sama: UMKM jalan di tempat, wisatawan datang lalu pergi tanpa cerita yang membekas.

Rempah Menjadi Jalan Kesejahteraan?

Rempah seharusnya bukan hanya identitas sejarah, tapi jalan menuju kesejahteraan. Kita bisa membayangkan ekosistem ekonomi rempah yang kuat: dari hulu ke hilir, dari kebun ke pasar global. Kita bisa bangun koperasi petani, pabrik penyulingan minyak atsiri, rumah pengeringan modern, hingga pusat riset dan inovasi produk berbasis rempah.

Tapi apa yang terjadi? Yang dibangun justru seringkali adalah panggung-panggung kosong. Proposal pelatihan terus-menerus diluncurkan, tapi tidak ada jaminan pasarnya. Bantuan alat pertanian disalurkan, tapi tidak ada ekosistem yang menopangnya. Kita terlalu asyik membuat kegiatan yang bisa difoto dan dilaporkan, daripada membangun sistem yang mungkin tak terlihat, tapi berkelanjutan.

Parahnya, narasi besar “Ternate Kota Rempah Warisan Dunia” ini belum pernah benar-benar diterjemahkan ke dalam dokumen pembangunan secara utuh. Ia menjadi tema promosi, bukan kerangka kerja pembangunan. Tidak ada peta jalan (road map) yang konsisten dan mendalam. Tidak ada grand design lintas sektor. Tidak ada integrasi antara kebijakan pertanian, perdagangan, pariwisata, pendidikan, dan budaya dalam satu desain ekosistem rempah yang hidup.

RPJMD Harus Jadi Developmental Storytelling!

Sudah saatnya kita membongkar cara lama menyusun RPJMD sebagai kumpulan target teknokratik. RPJMD harus menjadi sebuah developmental storytelling, sebuah narasi pembangunan jangka menengah yang menyatu antara logika teknis dan jiwa (roh) pembangunan daerah.

Artinya, RPJMD bukan sekadar daftar program dan indikator (yang metadatanya seringkali tiba saat tiba akal), tapi kisah besar tentang mimpi kota ini, dan bagaimana kita mencapainya bersama. Dalam kerangka ini, setiap kebijakan bukan sekadar tugas rutin Perangkat Daerah, tapi bagian dari babak cerita transformasi (meminjam Visi RPJPD Kota Ternate 2025-2045). Setiap anggaran bukan sekadar angka, tapi investasi dalam kisah hidup masyarakat.

Jika kita betul-betul ingin membangun “Ternate Kota Rempah Warisan Dunia”, maka RPJMD Kota Ternate 2025-2029 yang saat ini sedang disusun, harus memosisikan rempah sebagai simpul pembangunan lintas sektor: ekonomi, budaya, lingkungan, pendidikan, bahkan diplomasi internasional. Kita harus menulis cerita ini dengan serius. Cerita tentang bagaimana Ternate bangkit dari keletihan kolonial, mengambil kembali kejayaan dengan strategi modern, dan menjadi pelopor kota kecil yang bersuara besar di panggung dunia.

Bagaimanapun, Ternate tidak kekurangan sejarah. Kota ini punya legitimasi untuk bangkit sebagai poros dunia rempah. Tapi kita tidak bisa hanya hidup dari kebanggaan masa lalu. Kita harus menulis bab baru dengan kerja yang konsisten, terencana, dan terukur. Jika tidak, maka kata “Kota Rempah” hanya akan jadi simbol dari kebijakan yang remah-remeh dan rapuh, bahkan terasa pahit.

Sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang hanya pandai mengenang, tapi gagal membangun. Generasi yang hanya mampu menabur slogan, tapi tak sanggup menuai perubahan. Semoga, seperti canda dari salah satu kolega “Dr. Aziz Hasyim”, beliau hampir bosan bacarita barang ini – tidak terjadi.***

 

Dr. Ir. Husnullah Pangeran

Ketua Pengurus Wilayah Persatuan Insinyur Indonesia Provinsi Maluku Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Tutup