Perebutan Pulau Antara Gebe dan Raja Ampat
Penulis: Riski Ikra (Ketua Umum HPMB Malut)
Konflik perebutan wilayah selalu menjadi isu rumit di Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau kecil, Indonesia kerap menghadapi tarik ulur kepemilikan, baik antar provinsi, kabupaten, bahkan antar masyarakat adat.
Kasus perebutan tiga pulau kecil Sain, Piyai, dan Kiyas yang kini dipersoalkan antara Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara dan Kabupaten Raja Ampat di Papua Barat Daya adalah cermin terbaru bahwa persoalan batas wilayah masih menyisakan luka administratif sekaligus tantangan sosial bagi bangsa ini.
Ketiga pulau tersebut sebenarnya sudah lama tercatat dalam dokumen resmi negara sebagai bagian dari Kabupaten Halmahera Tengah. Keputusan Presiden nomor 6 Tahun 2017 secara jelas memasukkan Sain, Piyai, dan Kiyas ke dalam wilayah Maluku Utara. Bahkan pada tahun 2025, Kementerian Dalam Negeri kembali menegaskan status tersebut melalui Keputusan nomor 300.2.2-2138 tentang pemutakhiran kode data wilayah administrasi dan pulau (TribunTernate.com senin 22/09/2025).
Artinya, secara hukum kedudukan pulau-pulau itu tidak lagi dapat diganggu gugat. namun faktanya, klaim dari Papua Barat Daya, khususnya Kabupaten Raja Ampat, terus bermunculan. sengketa tidak berhenti pada dokumen hukum, melainkan melebar ke ranah sosial, identitas, hingga politik lokal.
Jika ditelaah lebih dalam, perebutan tiga pulau ini bukan semata perkara garis batas pada atas peta. Ia adalah korelasi sejarah yang melekat, tentang siapa yang berhak mendefinisikan ruang hidup. Bagi masyarakat Gebe, pulau-pulau itu adalah bagian dari aktivitas ekonomi sehari-hari, ruang jelajah nelayan, bahkan penanda kultural. Hilangnya kepemilikan berarti hilangnya bagian dari kehidupan sosial mereka. Sebaliknya, bagi sebagian masyarakat Raja Ampat, pulau-pulau tersebut diyakini sebagai ruang sejarah yang memiliki ikatan tradisional dengan leluhur mereka. Kedua pihak sama-sama memiliki narasi, dan narasi inilah yang membentuk legitimasi sosial atas klaim mereka.
Perebutan wilayah bukan masalah biasa. Maluku Utara berdiri pada atas dasar sah-rasional, yakni aturan negara yang tertulis. Sementara Raja Ampat membawa legitimasi tradisional, dengan mengandalkan ikatan sejarah dan kedekatan geografis. Pertentangan antara dua bentuk legitimasi ini menjelaskan mengapa konflik masih terus berlangsung meskipun sudah ada keputusan resmi negara. Hukum memang kuat, tetapi Jika tidak diakui secara sosial oleh pihak lain, maka implementasinya tetap menghadapi tantangan.
Masyarakat hanya bisa stabil Jika solidaritas sosialnya terjaga. Sengketa perbatasan, betapapun kecil wilayahnya, berpotensi mengganggu kohesi sosial. Di lapangan, konflik klaim pulau bisa memecah hubungan antar nelayan, mengganggu interaksi dagang, bahkan menimbulkan perasaan saling curiga.
Solidaritas yang sebelumnya terjalin longgar antar masyarakat pesisir Maluku Utara dan Papua Barat Daya bisa retak hanya karena perbedaan tafsir mengenai batas wilayah. Pulau kecil itu akhirnya menjadi simbol besar yang memecah kesadaran kolektif.
Pierre Bourdieu memberi kita lensa lain untuk membaca persoalan ini. Menurutnya, setiap aktor sosial berjuang mempertahankan kapital: modal ekonomi, modal politik, kapital sosial, dan kapital simbolik. Pulau Sain, Piyai, dan Kiyas menyimpan semua modal itu. dari sisi ekonomi, ia memiliki kekayaan laut, potensi wisata, dan peluang strategis.
Dari sisi politik, klaim atas pulau memperkuat legitimasi pemerintahan daerah dan memperluas otoritas administratif. Dari sisi simbolik, kepemilikan pulau adalah tanda kehormatan, martabat, dan sejarah. Itulah sebabnya konflik ini tidak bisa dilihat sederhana, karena yang dipertaruhkan bukan hanya daratan kecil di tengah laut, melainkan seluruh dimensi modal yang menopang kehidupan masyarakat dan Pemerintah Daerah.
Dampak sosial pun tidak bisa diabaikan. Pulau-pulau kecil sering dianggap sepele, padahal bagi masyarakat pesisir, ia adalah sumber kehidupan. Nelayan membutuhkan pulau sebagai tempat berlindung ketika badai, lokasi singgah, atau penanda jalur pelayaran. Pulau juga kerap terikat dengan kisah leluhur, ritual adat, atau mitos lokal yang membentuk identitas kolektif. Karena itu, ketika ada perebutan, masyarakat tidak hanya melihatnya sebagai masalah politik, tetapi juga sebagai ancaman terhadap warisan kultural. identitas lokal pun menjadi taruhannya.
Jika menilik lebih jauh, persoalan ini juga terkait geopolitik. Pulau-pulau kecil di perbatasan sangat penting sebagai penanda batas negara. Indonesia pernah belajar banyak dari kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia. Dari pengalaman itu, seharusnya negara lebih serius dalam mengamankan status hukum, sosial, dan ekonomi dari pulau-pulau kecilnya.
Kehilangan pulau bukan sekadar kehilangan tanah, tetapi juga kehilangan kedaulatan, kekayaan laut, dan pengaruh geopolitik. karena itu, perebutan tiga pulau di Maluku Utara dan Papua Barat Daya harus dilihat sebagai bagian dari pertarungan strategis menjaga keutuhan bangsa.
Pemerintah pusat melalui Kemendagri maupun lembaga terkait memang sudah menegaskan status hukum pulau-pulau tersebut. Namun penegasan hukum saja tidak cukup. Negara harus menghadirkan keadilan sosial, membangun komunikasi intens dengan masyarakat lokal, tokoh adat Papua maupun Gebe, serta pemerintah dari kedua provinsi untuk membicarakan bersama masa depan pulau-pulau itu.
Jalan membangun rasa kekeluargaan hanya dapat ditempuh melalui dialog bersama, disertai program pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat. Jika tidak, konflik ini akan tetap berlarut, bahkan berpotensi menimbulkan ketegangan yang lebih luas.
Pulau Sain, Piyai, dan Kiyas mungkin kecil di peta, tetapi besar maknanya bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik lokal. Ia menjadi cermin bagaimana negara mengelola perbedaan klaim, menjaga identitas masyarakat, dan mempertahankan kedaulatan.
Perebutan pulau ini harus dipandang bukan semata soal siapa yang berhak, melainkan bagaimana bangsa ini belajar menjaga solidaritas sosial dan mencegah konflik yang dapat melemahkan ikatan kebangsaan. Jika dikelola dengan bijak, persoalan ini justru bisa menjadi momentum memperkuat persaudaraan dan memastikan bahwa batas wilayah tidak merusak keutuhan bangsa, melainkan menguatkan rasa memiliki terhadap tanah air. ***









Tinggalkan Balasan